Pengepungan Tirus, Jejak Alexander Mengubah Pulau Jadi Semenanjung
Demi bertahan hidup pun, mereka memiliki persediaan makanan yang didapat dari dua pelabuhan di utara dan selatan pulau. Hal inilah yang membuat Tirus selama ratusan tahun, bahkan bangsa Asyur yang mencoba menguasainya di abad ketujuh SM juga gagal mengepung mereka.
Pelajaran terdahulu dimanfaatkan oleh Alexander. Ia memulai pengepungan pada awal 332 SM dengan membuat tanggul yang menghubungkan daratan utama ke kota pulau itu.
"Namun, pembangunan tanggul memiliki sejumlah kendala," papar Butler dan timnya. "Sekalipun secara teknis tidak terlalu sulit, besarnya tugas tersebut membutuhkan banyak sumber daya manusia." Karena tidak mampu dilakukan pasukan Alexander, penduduk dari kota Fenisia yang bersekutulah yang melakukannya.
Saat tanggul semakin dekat, Tirus menghujani para pekerja dengan hujan panah dan ketapel. Segera Alexander membangun pagar kayu runcing untuk melindungi para pekerja. Ia juga membangun dua menara penggempur (siege tower) di ujung tanggul yang tingginya mencapai 46 meter terbuat dari kulit agar kebal dari panah api.
Kunci Alexander pada babak awal pengepungan ini terdapat pada para pekerjanya. Ia terus berpikir mencari cara melindungi mereka, bahkan ketika orang-orang Tirus berhasil menghancurkan menara penggempur dengan menghantamkan kapal-kapalnya yang berisi barang mudah terbakar.
Sayangnya, alam berpihak pada orang-orang Tirus. Tanggul itu diterjang ombak; tenggelamlah sebagian besar pembangunan.
Maka, dalam babak kedua serangan, Alexander mendapat pertolongan dari 80 trirema (kapal perang besar) dari Funisia, diikuti oleh Siprus yang mengirimkan 200 trirema. Armada baru ini mengalahkan armada laut Tirus, lalu bergerak memblokade kedua pelabuhan. Terputuslah suplai makanan Tirus.
Alexander kemudian membangun tanggul baru lebih ke utara dan memperlebarnya. Gabungan kedua tanggul inilah yang kemudian menjadi dataran genting menghubungkan pulau dan daratan utama akibat sedimentasi.
Para pekerja dilindungi mesin-mesin penggempur dan kapal patroli dari sekutu-sekutu Makedonia. Serangan ke Tirus juga dimulai dengan menabrakkan kapal untuk mengetahui seberapa kuat tembok mereka.
Lalu, musim panas berlangsung. Orang-orang Tirus makin nekat dengan menangkap orang-orang Alexander dan memaerkannya di atas tembok sebelum dibunuh. Menara mereka didirikan lebih tinggi untuk menghancurkan menara penggempur Alexander. Menara itu dilengkapi penombak untuk menghancurkan perisai, jaring, dan pasir untuk melumpuhkan tentara berzirah.
Sekitar Agustus, armada kapal menemukan titik lemah Tirus di sisi selatan. Tembok di sisi selatan dilubangi. Alexander langsung memimpin ke lubang itu bersama beberapa kapal pengangkut infanteri dan berhasil menerobos lubang yang ada. Pasukan Tirus gagal di sini karena tidak punya pasukan yang banyak untuk menghadang.
"Sekalipun Alexander terkenal karena memiliki belas kasihan kepada musuhnya yang kalah, dia hendak membuat Tirus menjadi contoh akibat perlawanan mereka," Butler dan rekan-rekan menjelaskan.
"Adalah hal yang lazim dilakukan saat itu bahwa semua pria dari pihak yang kalah dibunuh, khususnya jika mereka berasal dari ras berbeda. Alexander mungkin saja bisa bersikap lebih baik, tetapi orang Tirus sedniri tidak 'bermain fair'."
Raja Tirus selamat dalam pertempuran ini, dan Alexander memperlakukannya secara terhormat. Sang Raja sempat berencana untuk mengungsikan kaum perempuan dan anak-anak ke Kartago, koloni mereka di Afrika utara. Akan tetapi, upaya ini digagalkan oleh armada laut. Mereka tertangkap dan menjadi budak.
Penggempuran tujuh bulan ini sebenarnya adalah kesempatan emas bagi Persia untuk mengalahkan Makedonia. Persia gagal pada beberapa tahun berikutnya.
Meski demikian, para sejarawan—termasuk Butler dan rekan-rekannya sendiri—tidak begitu paham mengapa Darius III tidak memanfaatkan pengepungan Tirus untuk mengalahkan Alexander. Padahal, Persia memiliki pasukan yang tangguh dan berjuta-juta banyaknya dalam ketika menghadapi Alexander dari Granicus hingga perebutan Babilonia kelak.
No comments: