Ads Top

Jung Jawa, Kapal Raksasa Penguasa Lautan Nusantara yang Telah Hilang


 Sebagai negara kepulauan, Indonesia dikenal telah merajai ekspedisi laut untuk perdagangan sejak berabad-abad silam. Kapal-kapal kargo dibangun untuk menyaluran komoditas rempah-rempah dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya.

Sebelum teknologi pelayaran dikuasai bangsa Eropa, Indonesia telah memiliki teknologi perkapalan yang menakjubkan. Hal ini diakui oleh seorang astronomer kesohor dari Yunani bernama Claudius Ptolemaeus menyebutnya kolandiaphonta, yang berarti kapal dari Sumatera atau Jawa.

Sejarahnya bermula di era 1500-an ketika orang Jawa dikenal menguasai kawasan Asia Tenggara dengan menguasai jalur rempah antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Lambat laun, pelabuhan Malaka juga menjadi pusat perdagangan pada masa itu.

Terpusatnya perdagangan di pelabuhan Nusantara itu menjadi dorongan bagi orang di Jawa untuk terus mengembangkan kapal-kapal besar demi ekspansi kawasan dagangnya.

Pada abad ke-8, perkapalan Nusantara pun mencapai puncak kejayaannya ketika orang Jawa berhasil membuat kapal terbesar dalam sejarah dunia. Orang Jawa menyebutnya “jung”, yang dalam bahasa Jawa kuno berarti perahu.

Dibalik perawakan Jung Jawa yang besar bak raksasa, kapal ini dibangun dengan teknik yang cukup unik. Alih-alih menggunakan paku atau besi, kerangka Jung Jawa menggunakan pasak untuk merekatkan bagian kapal satu sama lain.

Kapal ini terdiri dari empat tiang layar dan dinding besar yang merupakan gabungan dari empat lapis kayu jati. Jung Jawa juga menggunakan bermacam layar, mulai dari dua layar hingga empat layar besar, lengkap dengan sebuah busur besar sebagai kemudi angin.

Hadirnya kapal raksasa ini turut tercatat dalam laporan sejarah abad 16 yang ditulis oleh Gaspar Correia. Dalam catatan itu, ia menceritakan tentang kapal raksasa dari Jawa yang tidak mempan ditembak meriam terbesar. Dari empat lapis papan kapal, hanya dua saja yang bisa ditembus.

Armada terbesar pada masa kejayaan Majapahit

Pada abad ke-14, Kapal Jung Jawa semakin dikenal oleh para pelaut di dunia. Kapal-kapal tersebut digunakan secara besar-besaran oleh Kerajaan Majapahit sebagai kapal angkut militer.

Jumlah terbesar jung perang Majapahit mencapai 400 kapal yang dikelompokkan menjadi 5 armada. Kapal-kapal itu mampu menampung hingga 800 prajurit dengan panjang mencapai 50 depa atau setara 100 meter. Untuk ukuran kecil, kapal ini memiliki panjang 33 meter dengan kapasitas 121 prajurit.

Dari waktu ke waktu, jung Majapahit mengalami alih fungsi. Melihat kapasitasnya yang cukup besar, kapal ini akhirnya juga dijadikan sebagai kapal dagang.

Niccolo da Conti pada abad ke-15 menggambarkan kargo Jawa tersebut memiliki ukuran yang lebih besar dari kapal terbesar bangsa Portugis pada masa itu, yakni kapal Flor de La Mar.

Menurut buku “Majapahit Peradaban Maritim” yang ditulis oleh Irwan Djoko Nugroho, Jung Jawa memiliki ukuran 4 hingga 5 kali lipat Kapal Flor de La Mar. Bahkan, kapal jung bisa memuat komoditas hingga 2.000 ton.

Berdasarkan catatan Duarte Barosa, Jung Jawa digunakan untuk melakukan perdagangan dari Asia Tenggara hingga Timur Tengah. Barang dagangan yang dibawa adalah beras, daging sapi, kambing, babi, bawang, senjata tajam, emas, sutra, kamper, hingga kayu gaharu.

Pada masa itu pula, penjelajahan orang-orang Nusantara mencapai prestasi terbesarnya. Sebab, hampir semua komoditas rempah-rempah dari Asia ditemukan di Jawa.

Hilangnya kapal Jung

Kapal raksasa Jung Jawa yang cukup tersohor pada masanya, sayangnya tidak banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia saat ini. Gagalnya regenerasi kekuasaan Mataram disebut-sebut sebagai salah satu penyebab terkikisnya peradaban kapal jung.

Setelah Sultan Agung Mataram lengser, pemerintahan Mataram jatuh pada Amangkurat I. Pada masa pemerintahannya, Amangkurat I menjalin perjanjian dagang dengan Belanda melalui VOC.

Perjanjian tersebut berbunyi pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram juga diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC.

Amangkurat I juga menutup pelabuhan dan menghancurkan kapal-kapal di kota-kota pesisir, untuk mencegah pemberontakan dari pihak yang tidak setuju dengan keputusannya.

Kondisi itu semakin diperburuk ketika VOC mulai menguasai pelabuhan-pelabuhan pesisir di pertengahan abad 18. Pada saat itu, VOC juga melarang galangan kapal membuat kapal dengan tonase melebihi 50 ton dan menempatkan pengawas di masing-masing kota pelabuhan.

Hingga saat ini, peradaban kapal jung dan perjalanannya membawa komoditas rempah Nusantara ke penjuru Asia hanya tersisa menjadi sejarah yang hampir terlupakan.






 

No comments:

Powered by Blogger.